TNC. Penataan ruang di Indonesia masih
bersifat Top Down, sehingga pemerintah daerah terkesan tidak bisa berbuat
banyak ketika pemerintah pusat sudah mengatur pemetaan diwilayahnya. Hal itu
diungkapkan Kasmita Widodo yang menjadi narasumber dalam Lokalatih ECV dan
Pemetaan Partisipatif yang dilakukan SuKMa simpul Sumbawa di Desa Karombo,
Kabupaten Dompu, Rabu (20/11). “pemerintah pusat yang menentukan, dan
pemerintah dibawahnya harus ikut, jadi sifatnya top and down” ungkap pria yang
bekerja di LSM Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif ini.
Masalah tata ruang sebenarnya sudah diatur
dalam UU nomor 26 tahun 2007. Dalam UU tersebut dijelaskan berbagai pemanfaatan
wilayah yang ada di Indonesia. Secara umum ada 2 wilayah yang diatur dalam UU
26 tahun 2007, yaitu wilayah fungsional dan wilayah administrasi.
Rencana Tata Ruang Wilayah baik itu dipusat
maupun di daerah secara umum sama. Dodo panggilan akrab Kasmita Widodo
menjelaskan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah dibagi menjadi dua yaitu pola
ruang dan struktur ruang. Pola Ruang sendiri terdiri dari ruang lindung dan
juga budidaya. Pola ruang ini yang perlu dipahami oleh peserta yang hadir,
karena pola ruang mengatur mana yang bisa diolah dan dieksploitasi serta
wilayah yang perlu dilindungi dan digunakan secara terbatas. “disetiap wilayah,
minimal 30% luas wilayahnya harus dijadikan kawasan lindung” ungkap dodo yang
menjadi narasumber pertama dihari kedua.
Masyarakat sebagai pengguna lahan, perlu
untuk mengetahui sejauh mana pengelolaan kawasan di daerahnya. Jika terjadi
pelanggaran terkait pemanfaatan lahan yang sudah diatur, maka masyarakat bisa
mengadukannya, termasuk jika pemerintah itu sendiri yang melakukannya. “jika
pemda yang melanggar, masyarakat bisa melaporkannya ke bagian penindakan PNS
untuk tata ruang. Disetiap provinsi ada 2 orang, kedudukannya dibawah gubernur”
ungkapnya.
Selain masalah tata ruang, perubahan iklim
menjadi topik hangat yang diperbincangkan pada hari kedua. Saat ini, sudah
banyak terjadi perubahan iklim yang terjadi di Dompu, dampaknyapun sudah banyak
dirasakan saat ini. Perubahan paling nyata adalah cuaca yang tidak menentu
serta waktu melaut yang semakin sedikit serta beberapa contoh lainnya. Dewa,
yang menjadi narasumber mengaku, jika tidak dilakukan sebuah langkah untuk
mengadaptasi dan memperbaiki dampak perubahan iklim, dikhawatirkan puluhan
tahun kedepan akan banyak pulau yang hilang. “jika terus dibiarkan, bisa jadi
satu atau dua generasi lagi pulau-pulau sedang akan hilang” ungkap pria
berkacamata ini.
Perubahan iklim saat ini sudah tidak bisa
lagi dielakan, langkah yang dilakukan saat ini adalah untuk adaptasi dan
mengatasinya. Ina, wanita asal Maluku Utara yang juga menjadi narasumber pada lokalatih
ECV dan Perubahan Iklim menekankan pentingnya peran pemuda dan masyarakat untuk
menghadapi perubahan iklim. “diperlukan siasat dalam menghadapi perubahan iklim
yang terjadi” ungkap wanita santun ini.
Menurut Ina, Salah satu siasat yang paling
mudah dilakukan untuk menghadapi perubahan iklim adalah pemanfaatan potensi
yang ada serta pencarian mata pencaharian baru. Ina memberi contoh seperti yang
terjadi di wilayah dampingnnya. Karena perubahan iklim, waktu melaut nelayan di
wilayah pulaut tersebut berkurang, sebagai alternatif, istri nelayan mencari
teripang dan juga menjadi penganyam tikar. “ untuk mengantisipasi, istri
nelayan mencari teripang pada saat suaminya tidak melaut” ungkapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar